Tuesday, May 27, 2008

26 Mei 2008

My beloved hubby has just celebrated his birthday away from his depok's family; it never happened before. Yet, he never complain about it.

Along with his kindness, patience, and love, he stays with me & support all of my efforts to conquer this challenging semester.
I'm very grateful to hear his intention to do the shaum to celebrate his birthday as well as giving me strength to do the exam on his happiest day. I'll make it up...Insya Allah...

Ya Rabbi, jika Engkau mengijinkan, berikanlah apapun yang terbaik untuk suami hamba di kehidupannya di dunia & akhirat.

Selamat ulang tahun mas...
Terima kasih atas segalanya & mohon maaf atas segala khilaf
....
with all my deepest love, forever



Monday, May 12, 2008

pentas seni IISB, 11 Mei 08


Hari Minggu kemarin, Indonesian Islamic Society of Brisbane ngadain pentas seni sekaligus fund raising untuk para anak2 Indonesia yg kurang beruntung. Acara ini di moderatori oleh Asti & Dimas & dimeriahkan oleh anak2 TPA (boys & girls), tari Piring, Angklung grup, tari Saman, pembacaan puisi, dan lelang lagu2 yg dimainkan dari biola & kecapi pak Iman. Boleh dibilang, acara pentas seni ini cukup sukses apalagi bazar makanan indonesia.nya...whuiiihh...laris manis. Aula Ahimsa yang tidak begitu besar menjadi padat dengan pengunjung yang antusias menonton pertunjukan sambil menikmati jajanan Indo. wahh..dah bener2 kaya di Indo deh! .... I miss mie ayam so much :((
so...sekali lagi bravo yah untuk para panitia & temen2 suamiku yang berusaha sekuat tenaga untuk membuat acara fund raising ini berjalan dengan sukses. ^_^

(St,Lucia...malam menjelang dini hari)

Thursday, May 8, 2008

konsep Maaf


Apa yang kamu pikirkan jika kamu berhadapan dengan seseorang yang meminta maaf (apapun alasannya). Apakah kamu memperhatikan caranya meminta maaf? Apakah body language.nya berubah?
Menarik juga loh untuk melihat "fenomena2" yang menyertai dibalik permintaan maaf seseorang; karenanya, daku coba menguak "fenomena" orang Indonesia meminta maaf.
----------------------------------


How do Indonesian men and women apologize?

Investigating the nature of apology across cultures is very interesting study since the underlying conceptions of conditions and norms of apology may differ from one culture to another. It is not surprising that there are many literatures explore the apology in many aspects, for example strategies of apology between one culture and another, situations that may influence the apology took place, the differences between men and women in making apology, etc. Meier (1998) and Bataineh & Bataineh (2006) in their articles stated that there is some evidence in the cross-cultures literature that apologies are a speech act where gender differences are likely to be found, especially in the English speaking countries. Meier discussed some studies that show gender differences significantly affect the use of apology, and from her own investigation, she found out that her females respondents used the word “really” more often than males in making apology, while the males used “terribly” as in “I’m terrible sorry” more often than the females did. In line with it, Bataineh & Bataineh believed that gender played an important role in the use of apology strategies. They found out that male and female respondents differed in their use of apology strategies. The females tend to apologize more than their male counterpart, as females used “statement of remorse” more often than the males. Although both male and female respondents used the same primary strategies of “accounts, reparation, compensation, and self-castigation”, female respondents used them more than male respondents. Furthermore, female respondents used slightly fewer non-apology strategies, i.e. avoiding a responsibility for doing something wrong and apologizing for it, than male respondents

Nevertheless, are the above conditions also occur in Indonesia? Wouk (2006a, 2006b) in her two articles tries to investigate whether there are any differences between Indonesian males and females in terms of making the apology. The respondents, who consist of 60 males and 44 females, were being asked to give their opinions of how will they respond to the following six situations that acquire them to make an apology, such as:

  1. the speaker forgot to buy books that a younger sibling had asked for,
  2. the speaker missed a friend’s party,
  3. the speaker passed something to a same-aged stranger with the left hand (taboo in Indonesian culture),
  4. the speaker kicked a ruler towards an older sibling instead of handing it to them,
  5. the speaker bought the wrong office supplies for their boss, and
  6. the speaker soaked an older man with a hose

Interestingly, from all the above situations there are variations of politeness in apologizing. For example in situation B (missed the party) and situation C (passed something to a same-aged stranger with the left hand), male respondents used significantly more upgrading pattern of apology (i.e. using words which equally mean really [bener, pasti, betul] or very/too [terlalu, sekali, sangat], as well as others relating to quantity, like banyak ‘a lot’ and sebesar-besarnya ‘as much as possible), more explanation, more intimate terms of address (i.e. honorific terms), and more solidarity oriented pragmatic particles (such as deh, sih, neh, or dong, koq, aja, and aja) than female respondents. This upgrading or intensifier form is employed to show speakers’ respect for the recipient of the apology, and usually it is used by younger person as a respect for the older ones or someone who has a higher status social than the speaker. While the female respondents are more likely to express lack of intent than men meaning that the females did not have the intention to do impolite behaviors such as in situation D (kicked a ruler towards an older sibling instead of handing it to them), C (passed something to a same-aged stranger with the left hand), and F (soaked an older man with a hose). From these findings, Wouk (2006) concluded that there are no significant differences between Indonesian men and women when making the apology. If it was compared to European languages studies, gender differences in Indonesian language seemed to be far smaller.

Although Wouk’s respondents were from Mataram (Lombok), it was an adequate representative of Indonesian people. However, it will have been better if she explore another people from another province, such as Java as the representative from western part of Indonesia and Moluccas as the representative from eastern part of Indonesia.


References:


Bataineh, R.F. Bataineh, R.F. (2006). Apology strategies of Jordanian EFL university students. Journal of Pragmatics, 38:1901–1927. Retrieved December, 10, 2007 from http://www.sciencedirect.com.ezproxy.library.uq.edu.au/


Meier, A.J. (1998). Apologies: What do we know?. International Journal of Applied Linguistics, 8: 215-231. Retrieved December, 11, 2007 from http://www.blackwell-synergy.com.ezproxy.library.uq.edu.au/


Wouk, F. (2006a). Strategies of apologizing in Lombok Indonesia. Journal of Politeness Research, 2: 277-311. Retrieved December, 10, 2007 from http://www.swetswise.com.ezproxy.library.uq.edu.au/


Wouk, F. (2006b). The language of apologizing in Lombok Indonesia. Journal of Pragmatics, 38: 1457-1486. Retrieved December, 10, 2007 from http://www.sciencedirect.com.ezproxy.library.uq.edu.au/


--------------------------

Bagaimana orang non-Indonesia meminta maaf yah??

--------------------------
Picture reference : http://202.75.42.77/~scooters/gambaq/underconstruction.jpg


Saturday, May 3, 2008

pEnDiDiKaN

allow me to give you two education situation in our world, hopefully they will give us some insight of how to treat our children wisely :)

1. Indonesia

http://www.kompas. com/kompascetak. php/read/ xml/2008/ 04/26/02080511/ ketika.pensil. anak-anak. itu.tidak. bergerak

Kasus Ujian Nasional
Ketika Pensil Anak-anak Itu Tidak Bergerak...
Sabtu, 26 April 2008 | 02:08 WIB

Oleh Andy Riza Hidayat

Kelengangan Jalan Galang, Lubuk Pakam, pecah. Rabu (23/4) pukul 13.30 ledakan keras dari pucuk senapan menyalak di Sekolah Menengah Atas Negeri 2 Lubuk Pakam, Deli Serdang. Sekelompok orang berpakaian sipil, tetapi bersenjata, membuka paksa sebuah ruangan di sana.
Para pendobrak pintu itu ternyata anggota Detasemen Khusus 88 Anti Teror Kepolisian Daerah Sumatera Utara (Sumut).

Guru yang ada di dalam ruang Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) dan Bimbingan Konseling (BK) kaget.
G Sianturi, guru bidang studi Ekonomi, hanya diam. Dia tak menduga ada
petugas berpakaian sipil merangsek masuk ruangan. Petugas memergoki para guru membetulkan lembar jawaban siswa peserta ujian nasional (UN).

Tanpa banyak kata, mereka menyita 284 lembar jawaban siswa, pensil, penggaris, dan peruncing pensil. Para guru gemetar, sebagian menangis.

Tiga hari sudah berlalu, tetapi Sianturi mengaku masih shock. Dia mengatakan hanya ingin membantu siswa yang kesulitan mengerjakan soal Bahasa Inggris. Diakuinya semua direncanakan para guru. Pada saat para siswa terlihat tidak bisa mengerjakan soal, guru-guru akan membantu membetulkan jawaban. "Kami terpaksa," katanya.

Bahasa Inggris adalah mata ujian pertama yang dijadwalkan pukul 08.00-10.00 hari itu. Begitu soal dan lembar jawaban terkumpul, empat guru Bahasa Inggris membuat kunci jawaban dan 16 guru kemudian "ngebut" membetulkan ulang lembar jawaban 284 siswa di ruang UKS dan BK tadi. Sementara itu, siswa meneruskan mata ujian kedua: Kimia (untuk siswa jurusan IPA), Geografi (jurusan IPS), dan Sastra Indonesia (jurusan Bahasa).

Sianturi menuturkan, guru terpaksa membantu karena kasihan siswa tak mampu mengerjakan ujian Bahasa Inggris. Mereka sudah memprediksi anak didiknya akan mengalami kesulitan meski sebelum UN, siswa sudah menjalani uji coba soal ujian dua kali. Hasil uji coba memang mengkhawatirkan. Itulah mengapa muncul ide untuk membantu siswa. Sayangnya, cara mereka justru mengubur makna pendidikan itu sendiri.

Para guru sadar, pilihan mereka merupakan tindakan keliru. "Kami sudah mengajarinya tiga tahun. Kalau mereka gagal UN, kasihan orangtuanya, kan," katanya. Ia menyesal, tetapi nasi sudah menjadi bubur.
Meski enggan bicara, Kepala SMAN 2 Lubuk Pakam Ramlan Lubis mengakui kejadian itu. "Kasihan siswa. Saat mengerjakan soal Bahasa Inggris, kami lihat pensil anak-anak itu tak bergerak, tanda tak bisa mengerjakan, " kata Ramlan dengan wajah menunduk. Wajah itu kusut, tetapi hampa.
Ramlan menggerutu pemerintah terlalu memaksakan UN. Baginya, penyamaan soal UN sangat tidak adil. "Bagi anak Jakarta, soal Bahasa Inggris itu mungkin mudah. Namun, bagi siswa kami, soal UN sangat sulit. UN ini terlalu
dipaksakan sehingga kami pun terpaksa membantu siswa," ujarnya.

Argumen Ramlan ini mungkin benar menyangkut kesenjangan kualitas pendidikan antardaerah. Ramlan dan para guru hanya tidak sampai hati saja melihat siswa mereka gagal. "Karena sebagian besar orangtua mereka itu buruh tani dan buruh kebun," katanya.
Kini wajahnya tambah keruh. Dua malam terakhir dia kurang istirahat. Rabu siang lalu dia harus menjalani pemeriksaan polisi bersama 16 guru lain sampai Kamis dini hari. Kini mereka berstatus tersangka pelanggar Pasal 263 (perihal pemalsuan surat) KUHP dengan ancaman hukuman paling lama 6 tahun penjara. Mereka wajib lapor kepada polisi dua kali seminggu.
Ramlan ingin semua pihak memahami peristiwa di sekolahnya. Namun, ia tak melanjutkan perkataannya. Dia buru-buru meninggalkan sekolah saat sejumlah wartawan ingin meminta penjelasan lagi. Ia mengakhiri pembicaraan dan pulang.

Para guru kemarin duduk-duduk di lorong sekolah. Satu per satu meninggalkan tempat duduk setelah tahu yang datang adalah wartawan. Di beberapa ruang, sejumlah siswa berbincang. Sebagian ikut ekstrakurikuler. Saat didekati, mereka membalikkan badan.

Sejak peristiwa Rabu lalu, tak banyak informasi keluar dari sekolah. Suasana sekolah itu kini jadi beku karena kekeliruan. Bangku-bangku dan lorong sekolah terasa senyap. Di salah satu meja guru bertumpuk koran-koran berisi berita penggerebekan para guru dan kecurangan sekolah itu.

Akan tetapi, praktik kecurangan UN di Sumut tak cuma terjadi di SMAN 2 Lubuk Pakam. Kecurangan juga terjadi di enam daerah lain di 24 SMA sederajat, yaitu di Medan, Humbang Hasundutan, Pematang Siantar, Simalungun, Toba Samosir, dan Binjai. Kecurangan di enam daerah itu masih sebatas laporan Komunitas Air Mata Guru (KAMG), belum termasuk kejadian lain seperti di SMAN 2 Lubuk Pakam.

Tahun lalu, KAMG melaporkan kecurangan serupa di sejumlah daerah di Sumut. Praktik kecurangan terbukti direncanakan demi nama baik sekolah dan daerah. Yang mengherankan, proses hukum bagi para pelaku kecurangan UN ternyata tak benar-benar ditegakkan. Setahun kemudian kasus serupa terulang.

Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Deli Serdang Ajun Komisaris Polisi Ruruh Wicaksono mengatakan, penggerebekan dilakukan berkat informasi awal datang dari seseorang.

Kedatangan satuan Densus 88 ke sekolah mendapat reaksi keras dari Wagino, orangtua murid dan kebetulan Ketua Komite Sekolah SMAN 2 Lubuk Pakam. "Saya menyayangkan polisi. Tindakan mereka berlebihan. Apalagi ada letusan senjata," ujarnya.

Wagino juga kesal dan kecewa pada sekolah itu. "Namun, itu bukan tanpa sebab. Semua terjadi karena UN dipaksakan digelar di seluruh Indonesia. Bagaimana bisa fair, kualitas guru beda, fasilitas sekolah berbeda.
Anak-anak kami harus menghadapi soal yang sama dengan soal siswa di Jakarta," katanya.


Informed by Anastasia (UQISA)

2. Finlandia

Tahukah Anda negara mana yang kualitas pendidikannya menduduki peringkat pertama di dunia? Kalau Anda tidak tahu, tidak mengapa karena memang banyak yang tidak tahu bahwa peringkat pertama untuk kualitas pendidikan adalah Finlandia. Kualitas pendidikan di negara dengan ibukota Helsinki, dimana perjanjian damai dengan GAM dirundingkan, ini memang begitu luar biasa sehingga membuat iri semua guru di seluruh dunia.
Peringkat I dunia ini diperoleh Finlandia berdasarkan hasil survei internasional yang komprehensif pada tahun 2003 oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). Tes tersebut dikenal dengan nama PISA mengukur kemampuan siswa di bidang Sains, Membaca, dan juga Matematika. Hebatnya, Finlandia bukan hanya unggul secara akademis tapi juga menunjukkan unggul dalam pendidikan anak-anak lemah mental.

Ringkasnya, Finlandia berhasil membuat semua siswanya cerdas.
Lantas apa kuncinya sehingga Finlandia menjadi Top No 1 dunia? Dalam masalah anggaran pendidikan Finlandia memang sedikit lebih tinggi dibandingkan rata-rata negara di Eropa tapi masih kalah dengan beberapa negara lainnya.

Finlandia tidaklah mengenjot siswanya dengan menambah jam-jam belajar, memberi beban PR tambahan, menerapkan disiplin tentara, atau memborbardir siswa dengan berbagai tes. Sebaliknya, siswa di Finlandia mulai sekolah pada usia yang agak lambat dibandingkan dengan negara-negara lain, yaitu pada usia 7 tahun, dan jam sekolah mereka justru lebih sedikit, yaitu hanya 30 jam perminggu.
Bandingkan dengan Korea , ranking kedua setelah Finnlandia, yang siswanya menghabiskan 50 jam perminggu
Lalu apa dong kuncinya? Ternyata kuncinya memang terletak pada kualitas gurunya. Guru-guru Finlandia boleh dikata adalah guru-guru dengan kualitas terbaik dengan pelatihan terbaik pula. Profesi guru sendiri adalah profesi yang sangat dihargai, meski gaji mereka tidaklah fantastis. Lulusan sekolah menengah terbaik biasanya justru mendaftar untuk dapat masuk di sekolah-sekolah pendidikan dan hanya 1 dari 7 pelamar yang bisa diterima, lebih ketat persaingainnya ketimbang masuk ke fakultas bergengsi lainnya seperti fakultas hukum dan kedokteran!
Dengan kualitas mahasiswa yang baik dan pendidikan dan pelatihan guru yang berkualitas tinggi tak salah jika kemudian mereka dapat menjadi guru-guru dengan kualitas yang tinggi pula. Dengan kompetensi tersebut mereka bebas untuk menggunakan metode kelas apapun yang mereka suka, dengan kurikulum yang mereka rancang sendiri, dan buku teks yang mereka pilih sendiri. Jika negara-negara lain percaya bahwa ujian dan evaluasi bagi siswa merupakan bagian yang sangat penting bagi kualitas pendidikan, mereka justru percaya bahwa ujian dan testing itulah yang menghancurkan tujuan belajar siswa. Terlalu banyak testing membuat kita cenderung mengajar siswa untuk lolos ujian, ungkap seorang guru di Finlandia. Padahal banyak aspek dalam pendidikan yang tidak bisa diukur dengan ujian. Pada usia 18 th siswa mengambil ujian untuk mengetahui kualifikasi mereka di perguruan tinggi dan dua pertiga lulusan melanjutkan ke perguruan tinggi.

Siswa diajar untuk mengevaluasi dirinya sendiri, bahkan sejak Pra-TK! Inimembantu siswa belajar bertanggungjawab atas pekerjaan mereka sendiri, kata Sundstrom, kepala sekolah di SD Poikkilaakso, Finlandia. Dan kalau mereka bertanggungjawab mereka akan bekeja lebih bebas.Guru tidak harus selalu mengontrol mereka.
Siswa didorong untuk bekerja secara independen dengan berusaha mencari sendiri informasi yang mereka butuhkan. Siswa belajar lebih banyak jika mereka mencari sendiri informasi yang mereka butuhkan. Kita tidak belajar apa-apa kalau kita tinggal menuliskan apa yang dikatakan oleh guru. Disini guru tidak mengajar dengan metode ceramah, Kata Tuomas Siltala, salah seorang siswa sekolah menengah.

Suasana sekolah sangat santai dan fleksibel
. Terlalu banyak komando hanya akan menghasilkan rasa tertekan dan belajar menjadi tidak menyenangkan, sambungnya.Siswa yang lambat mendapat dukungan yang intensif. Hal ini juga yang membuat Finlandia sukses. Berdasarkan penemuan PISA , sekolah-sekolah di Finlandia sangat kecil perbedaan antara siswa yang berprestasi baik dan yang buruk dan merupakan yang terbaik menurut OECD.

Remedial tidaklah dianggap sebagai tanda kegagalan tapi sebagai kesempatan untuk memperbaiki. Seorang guru yang bertugas menangani masalah belajar dan prilaku siswa membuat program individual bagi setiap siswa dengan penekanan tujuan-tujuan yang harus dicapai, umpamanya: Pertama, masuk kelas; kemudian datang tepat waktu; berikutnya, bawa buku, dlsb. Kalau mendapat PR siswa bahkan tidak perlu untuk menjawab dengan benar, yang penting mereka berusaha.

Para guru sangat menghindari kritik terhadap pekerjaan siswa mereka. Menurut mereka, jika kita mengatakan "Kamu salah" pada siswa, maka hal tersebut akan membuat siswa malu. Dan jika mereka malu maka ini akan menghambat mereka dalam belajar. Setiap siswa diperbolehkan melakukan kesalahan. Mereka hanya diminta membandingkan hasil mereka dengan nilai sebelumnya, dan tidak dengan siswa lainnya. Jadi tidak ada sistem ranking-rankingan. Setiap siswa diharapkan agar bangga terhadap dirinya masing-masing.Ranking-rankingan hanya membuat guru memfokuskan diri pada segelintir siswa tertentu yang dianggap terbaik di kelasnya.

Kehebatan sistem pendidikan di Finlandia adalah gabungan antara kompetensi guru yang tinggi, kesabaran, toleransi dan komitmen pada keberhasilan melalui tanggung jawab pribadi. Kalau saya gagal dalam mengajar seorang siswa, kata seorang guru, maka itu berarti ada yang tidak beres dengan pengajaran saya! Benar-benar ucapan guru yang sangat bertanggungjawab.

Diambil dari Top of the Class - Fergus Bordewich
Original message: 1001Buku.org

cheers,
Dessy Ksari (UQISA)

----------------------
so...the decision to make a difference is all up to you...